Postingan

Menolak Politisasi Agama menjelang Pemilu 2024 di Wilayah DIY

Persnews
makassar sulsel
Reporter: K. Herman S.
Yogyakarta, - Pengalaman Pilkada DKI 2012, Pemilu 2014, dan Pemilu 2019 mengajarkan kepada kita betapa rentannya masyarakat kita terhadap ayunan politisasi yang dimainkan oleh poros-poros kekuasaan di negeri ini. 
Pada saat yang sama, telepon cerdas yang baru saja muncul melalui Iphone di tahun 2010 dengan cepat melahirkan gegar digital di tengah masyarakat. Rapuhnya budaya baru berkomunikasi yang belum terbangun di satu sisi, dan kuatnya energi kepentingan yang bekerja di balik perkubuan politik menjadikan tiga rangkaian pemilu di atas laksana pusaran badai politik identitas di Indonesia.
Pilihan elit menggunakan politisasi identitas sebagai sarana mobilisasi politik, yang menerjang hampir semua norma kesantunan sosial menunjukkan empat hal : (1) tingginya pragmatisme politik para elit politik di negeri ini, (2) betapa rendahnya etika politik di Indonesia, (3) lemahnya daya kritis publik atas manipulasi politik identitas, dan (4) lemahnya “social trust” dan jejaring mitigasi melalui komunikasi, nilai hidup bersama, dan konsolidasi sosial antarwarga. 
Pembangunan masyarakat politik yang sehat yang berpusat pada pembangunan kepartaian yang etis, akuntabel, dan transformatif mutlak dilakukan ke depan bila kita berharap akan pemilu yang lebih berkualitas di negeri ini.

Tantangan toleransi
Sementara itu, isu toleransi masih menjadi PR besar yang tak terselesaikan di negeri ini. Penolakan terhadap aliran Ahmadiyah oleh MUI di Sukabumi 23 Februari 2023, penolakan Pengurus Ranting NU Sumberejo Malang terhadap pembangunan gereja Kristen Jawi Wetan melalui surat bertanggal 20 Januari 2023, hingga spanduk penolakan GBI Impact di Kwarasan, Gamping, Yogyakarta 5 Maret 2023 menunjukkan bahwa toleransi masih menjadi persoalan besar di negeri ini. 
Peristiwa-peristiwa tersebut juga menunjukkan dibutuhkan kerja yang lebih keras lagi dari aparat pemerintah maupun keamanan untuk memastikan terlindunginya hak-hak dasar warganegara atas agama dan kepercayaannya. 
Peristiwa itu juga mengingatkan kita bahwa bahan bakar untuk menyulut api politik identitas masih berlimpah di tengah hidup masyarakat sehari-hari dan dapat disulut kapan saja sejauh diperlukan. 

Pemilu 2024 : kembali ke politik identitas ?
Pemilu 2024 sebagai pemilu keenam pasca Reformasi dihadapkan pada tantangan yang sama. Akankah sentimen politik identitas, manipulasi informasi melalu hoaks, politisasi tempat ibadah dan lembaga publik, hingga kekerasaan fisik. 
Ancaman ini nyata dari tidak terputusnya penyebaran hoaks dalam berbagai media sosial, dalam bentuk yang semakin halus, kompleks, dan dikemas secara amat baik. Ancaman juga muncul mengingat pemilu 2024 adalah pemilu yang dipastikan akan memilih presiden yang baru. Dalam konteks geopolitik global, ketegangan AS melawan China dan Russia juga pasti akan memberi imbas pada politik nasional Indonesia. 
Di sisi lain kita diuntungkan oleh semakin matangnya publik dari politisasi identitas setelah melalui beberapa putaran pemilu sebelumnya. Kita juga diuntungkan oleh ketahanan ekonomi di tengah ancaman resesi global. Pengakuan publik atas keberhasilan pemerintahan juga turut menciptakan stabilisasi politik Indonesia. 
Dalam konteks lokal Yogya belum sepenuhnya bebas dari manipulasi identitas demi kepentingan-kepentingan politik lokal dan nasional. Sebagai salah satu poros penting politik nasional, Yogyakarta memiliki sejarah panjang dari berbagai intrik dan operasi politik memanfaatkan sentimen identitas agama, suku, dan ras.
Di bawah tekanan perkembangan urban yang semakin meninggi di Yogyakarta, sentimen politik identitas angat mudah dimainkan antara pendatang dan penduduk asli, antara Jawa dan non Jawa, antara Muslim dan non Muslim. Tekanan sosial ini semakin kuat dengan  pembangunan berbagai infrastruktur publik baru di Yogyakarta yang seringkali melahirkan benturan-benturan sosial yang berulang terjadi.

Strategi membangun resiliensi akar rumput terhadap politisasi identitas
Politik identitas bukanlah obat mujarab bagi pemenangan pemilu oleh sebuah partai yang gagal mengembangkan politik modern dan etis. Ia tidak akan bermakna di tengah masyarakat yang kuat, rasional, melek informasi, dan memiliki social bonding yang tinggi. 
Politik identitas tidak akan berdaya menghadapi publik yang resiliens terhadapnya. Perlu dicari model dan cara membangun sebuah masyarakat yang resiliens terhadap manipulasi dan politisasi identitas. Apa dan bagaimana membangun resiliensi publik terhadap politik identitas dalam pemilu 2024 mendatang ? 

Diskusi Menolak Politik Identitas
Menanggapi ancaman digunakannya kembai politik identitas dalam pemilu 2024 dan ancamannya bagi masa depan negeri ini Masyarakat Damai Yogyakarta menyapa dan mengundang penggerak-penggerak organisasi masyarakat untuk bersama-sama mencari langkah mengantisipasi politisasi dan manipulasi identitas dalam pemilu mendatang. 

Semua argumen dari berbagai ormas muncul diagenda diskusi yang diselenggarakan pada hari Jumat, 10 Maret 2023, di Ruang Kaliurang, Hotel Merapi-Merbabu, Seturan Yogyakarta dengan dihadiri oleh 30 undangan berbagai elemen masyarakat di DIY seperti Masyarakat Indonesia Maju, GAMKI DIY, Mafindo, KOPIJO, ICJ, PAGODJA, IKKJ, dll.

Seruan dan Harapan
Masyarakat Damai Yogyakarta setelah mempertimbangkan berbagai resiko yang ada mengajak : 
Semakin seriusnya upaya aparat pemerintah maupun keamanan dalam menjamin terlindunginya hak-hak dasar warganegara khususnya kebebasan beragama, berkepercayaan dan beribadat, dalam mewujudkan masyarakat yang melindungi mereka yang lemah dan penuh keharmonisan.
Mendorong semua pihak mengantisipasi digunakannya kembali cara-cara tidak etis melalui manipulasi agama dan identitas lainnya demi kemenangan sesaat pemilu 2024, dan mengorbankan keutuhan dan ikatan kebangsaan serta mengorbankan mereka yang lemah dan minoritas.
Mengajak semua pihak, khususnya masyarakat Yogyakarta agar membangun resiliensi menghadapi ancaman politik identitas 2024
Mendukung upaya KPU, Bawaslu, Pemerintah, Aparat keamanan, serta partai-partai dalam mewujudkan pemilu 2024 yang benar-benar demokratis, adil, dan diwarnai nilai-nilai Pancasila," ungkap Lilik Krismantoro Putro Koordinator Masyarakat Damai Yogyakarta

Cungki Kusdarjito membeberkan panjang lebar terkait politik identitas, labelisasi, ancaman, resiko politik identitas dan menjelaskan tentang memetics ( teori yang dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana ide dan budaya menyebar dan berkembang. Ada juga memeplex, meme toxic, memoid, meme complex serta strategi untuk menginfeksinya, meme allergy, serta cara melawan meme dengan tolerance dan vaccine, serta peran internet memperkuat penyebaran meme
Profesor Tulus (guru dan pelukis ) menggambarkan politik identitas adalah gerakan / tindakan politik yang mengeksploitasi identitas. Tidak salah sebetulnya yang salah adalah cara penyalahgunaannya. Politik identitas selalu terjadi dimana mana. Penggunaan yang salah melalui hoax, black campaign, dll yang menimbulkan sisi negatif di masyarakat.

Posting Komentar